ruang perempuan | perempuan selalu benar?


Di tahun ini aku mendapatkan salah satu kejadian yang sama sekali gak mengenakkan dan membuatku risih. Long story short, aku sedang berjalan sendirian untuk pergi ke suatu tempat dekat rumah pada siang hari. Saat itu, aku mengenakan celana training dengan kaos pendek yang dilapisi jas almamater juga tak lupa jilbab yang menutupi dada. Saat aku berdiri di pinggir jalan raya hendak menyebrang sebuah truk melintas di depanku, dan seorang laki laki di dalam truk tiba tiba melakukan cat calling dengan bersiul padaku. Padahal, waktu itu aku menampangkan wajah datar dan tidak sama sekali melihat laki laki tersebut. Aku pun juga tidak tau tampang laki laki kurang ajar tersebut. Saat kejadian tersebut aku langsung memaki dalam hati dan sedikit terkejut dengan perlakuan yang aku dapatkan.

Menengok dari pengalamanku tersebut tidak ada yang salah denganku bukan? Sebenarnya, kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan itu memang berdasar atas kesalahan pelaku. Namun kenapa di negara kita tercinta ini masih banyak sekali yang menyalahkan korban yang tidak lain adalah perempuan ketika terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan? Budaya victim blaming masih terasa kental saat ini meskipun sudah banyak gerakan end violence againts women baik di media sosial maupun dari demonstrasi para aktivis perempuan. Agaknya para masyarakat yang masih terselimuti budaya patriarki tidak ingin repot repot dan aware tentang feminisme, kekerasan terhadap perempuan, gender equality, and stuffs. Mereka cenderung tidak sengaja membaca atau mengetahui kasus kekerasan terhadap perempuan lalu langsung menjudge korbannya karena cara berpakaiannya dan others shittiest things yang pernah aku dengar. Parahnya, tidak sedikit dari kaum perempuan yang malah mencemooh dan menyalahkan para korban kekerasan seksual.

Budaya victim blaming yang destruktif tersebut menghantarkan ketakutan pada korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Data dari survei daring yang dilakukan pada 2016 menunjukkan bahwa 93 persen kasus pemerkosaan tidak dilaporkan ke pihak berwajib. Salah satu penyebab tingginya angka persentase tersebut karena adanya budaya victim blaming yang masih menjamur tersebut. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa tersebut memang patut disandangkan bagi para korban kekerasan seksual. Korban yang seharusnya segera mendapat keadilan dan penanganan apabila mengalami trauma malah harus mendekap luka yang ditorehkan oleh pelaku tidak bermoral. Lalu dimana letak kebenaran ungkapan yang menyebutkan bahwa perempuan selalu benar?

Budaya victim blaming mungkin sudah tidak membiak dan sebanyak dahulu karena mulai banyaknya masyarakat yang aware dan mengampanyekan pembelaan kepada korban kekerasan terhadap perempuan. Namun, bukan berarti victim blaming sudah tak berandil besar untuk menjadi pembungkam pelaporan kasus kekerasan yang dialami korban. Kampanye tentang kepedulian kita terhadap korban kekerasan harus terus dilanjutkan entah sampai kapan. Edukasi tentang pendidikan seks, pemahaman tentang feminisme, mengurangi adanya budaya victim blaming harus terus kita lakukan terutama kita, para kaum perempuan. Kita harus speak out dan mengedukasi masyarakat untuk peduli pada kasus kekerasan terhadap perempuan terutama yang berada di lingkup lingkungan sekitar kita. 

Comments

Popular Posts